Baku Spilen

21.56.00


Baku spai. Begitu bahasa untuk kata ciuman di kampung saya. Kampung saya jaraknya 200-an kilo meter dari ibu kota Provini Sulut, Kota Manado. Dengannya, baku spai adalah versi slang bahasa Manado. Baku spai atau yang kemudian juga sering diucap baku spilen, adalah strata ciuman kelas tinggi di bawah ciuman jenis cupang

Puisi

01.23.00
Berselancar di dunia maya memang sudah menjadi kebiasaan banyak orang. Terlebih saya, sejak 2012 sudah aktif bergelut di media berita online, praktis keseharian tak bisa lepas dari yang namanya internet. Mulai dari browsing2 artikel, berita, sampai sosial media, khususnya facebook yang lumayan sering saya pelototi.

Nah soal facebook, saya mengenal website besutan Mark Zuckerberg itu sejak aktif bergelut di dunia marketing a.k.a independent business owner alias MLM. Waktu itu sekira 2008, teman minta saya bikin akun facebook biar bisa komunikasi/prospek lagi banyak orang. Nah, bawaan orang marketing waktu itu, status-status saya jadi full motivasi mirip om Mario Teguh, hehehe.

Kemarin, entah kenapa saya jadi ingin bernostalgia dengan postingan dan unggahan2 lama saya di facebook. Agak sulit sih nemunya, karna mesti di-scroll, di-klik, sampe kriting jari2 :D. Pas masuk di era status tahun 2010-an (hehehe) saya ketemu satu puisi yang pernah saya masukkan di kanal catatan.

Puisi itu judul sebenarnya “Insan Luar Biasa”, tapi di catatan facebook, saya buat judulnya jadi “Aku Tidak Memilih Jadi INSAN BIASA”. Begitu tulis saya. Puisi ini begitu memotivasi waktu itu. Bahkan, kemarin waktu saya baca lagi, api di dada kembali bergelora, memompa-mompa semangat, sembari berteriak di hati, YEAAAH...!!! (ce ilee..).

Nah, bukan tidak mungkin rasa yang saya milik ini bakal sama dengan orang lain. Dengannya saya bagikan lagi puisi karya orang perancis ini buat sobat-sobat yang sempat singgah di blog unyu’ ini. Cekibob, jilbob :D

NB: sebelum dibaca, coba merem selama 1 menit saja. Tarik nafas dalam-dalam, tenang, dan hayati kalimat perkalimat puisi ini. Semoga bermanfaat.  


Aku tidak memilih jadi insan biasa.
Memang hakku untuk menjadi luar biasa.
Aku mencari kesempatan, bukan perlindungan.
Aku tidak ingin menjadi warga yang terkungkung,
rendah diri dan terpedaya karena dilindungi pihak berkuasa.
Aku siap menghadapi risiko terencana.
Berangan-angan dan membina, untuk gagal dan sukses.
Aku menolak menukar insentif dengan derma.
Aku memilih tantangan hidup daripada derma.
Aku memilih tantangan hidup daripada kehidupan yang terjamin.
Kenikmatan mencapai sesuatu, bukan utopia yang basi.
Aku tidak akan menjual kebebasanku.
Tidak juga kemuliaanku untuk mendapatkan derma.
Aku tidak akan merendahkan diri pada sembarang atasan dan ancaman.
Sudah menjadi warisanku untuk berdiri tegak, megah dan berani.
Untuk berpikir dan bertindak untuk diri sendiri.
Untuk meraih segala keuntungan hasil kerja sendiri.
Dan untuk menghadapi dunia dengan berani dan berkata,
“Ini telah kulakukan!”
segalanya ini memberikan makna seorang insan.

Den Alfange
(Perancis)

Seandainya

22.24.00

Hujan begitu senonoh menguyur daratan kota senja itu. Percik air semakin ditatap makin merobek dada, sementara raga ikut-ikutan lemas memikirkan cara bagaimana ikan mati bisa melawan arus. Hanya tawa dalam tangis menyumpahi, tak ada jalan menuju Roma.

Duniamu Icha Uttaran

21.53.00
Bandara Soeta sore itu. Dari kejauhan, wajahnya mulai samar terlihat di antara gelombang kepala manusia lain yang berdesak-desakan. Aku tahu dia bisa lupa wajahku. Kami lama tak bertemu. Namun hari itu, dengan hati ragu, kupaksakan raga bisa menyapanya sembari berharap, sambutan ceriannya memanggil namaku.

Uban dan Alasan Menulis

01.05.00
Sejak SMA, saya memang mulai berasa ada yang tak beres dengan daya ingat saya. Tak jarang, sesekali ketemu teman sekelas waktu di SD, SMP atau SMA, saya berjuang keras mengulang kata tanya di kepala, “Aduh namanya siapa?” Bisa kebayang kan, kalau ada teman seakrab-akrabnya menyapa, terus kita lupa namanya. Meski zaman sekarang banyak sapaan penyelamat seperti, bro, utat, mam, mace, dan sebagainya. Tapi tak bakal lewat beberapa menit setelah saling sapa, teman kita pasti berasa kita lupa namanya.

Bukan Superhero, Hanya Ayah

08.51.00

Bokap 1993
“Bersenang-senanglah dengan apa yang ada hari ini. Besok, nanti dicari,” begitu kata yang pernah terucap dari mulut ayah saya. Kata-kata itu lama mempengaruhi hidup saya. Aneh memang, tapi itulah salah satu prinsip hidup yang belakangan mulai menghilang dari diri saya. Meski tak bisa dipungkiri, kata-kata itu hingga kini sesekali masih berlaku di tiap keputusan hidup yang saya jalani, artinya tak peduli hari esok.