Uban dan Alasan Menulis

01.05.00
Sejak SMA, saya memang mulai berasa ada yang tak beres dengan daya ingat saya. Tak jarang, sesekali ketemu teman sekelas waktu di SD, SMP atau SMA, saya berjuang keras mengulang kata tanya di kepala, “Aduh namanya siapa?” Bisa kebayang kan, kalau ada teman seakrab-akrabnya menyapa, terus kita lupa namanya. Meski zaman sekarang banyak sapaan penyelamat seperti, bro, utat, mam, mace, dan sebagainya. Tapi tak bakal lewat beberapa menit setelah saling sapa, teman kita pasti berasa kita lupa namanya.

Nah, biasanya tanda-tanda teman kita mulai sadar namanya kita lupa, itu terlihat saat senyum lebarnya atau tarikan kulit wajah-cerianya mulai tak sempurna. Dalam kondisi seperti itu, rasanya benar-benar tak nyaman. Mungkin berbeda dengan orang lain, tapi saya kalau dalam kondisi itu, perasaanya seperti jadi rajanya orang sombong sedang menghina teman tak berdosa dengan setega-teganya. Yah, kurang lebih begitu gambarannya..

Mengingat umur makin bertambah, so pasti berbanding dengan tingkat kepikunan yang makin kronis, maka langkah yang bisa saya lakukan adalah menulis. Ya, menulis. Menulis menurut saya bukan sekadar mengolah kata, nyeni-nyeni, silat-silat kalimat, atau apalah. Bagi saya, menulis adalah cara atau langkah terbaik mengobati pikun yang saya derita. Karena motivasinya itu, makanya intensitas menulis saya di blog ini belakangan makin sering (tiga bulan sekali hehehe).

Sekali lagi, bagi saya, menulis layaknya langkah penyelamatan gerbong kisah di kepala sebelum ia menghilang bersama uban yang ditebang paksa. Si tukang tebang itu istri saya. Dia gadis beranak satu yang heran dengan kenyataan bahwa mantan pacarnya ini mulai beruban (Hihihi).

Bicara soal uban, ada suatu kondisi yang membuat saya meyakini sesuatu. Sesuatu itu menguat keyakinan setelah rentetan riset tak direncakanan selama masa-masa bergelut dengan dunia jurnalistik. Nah, keyakinan apa itu? Apa hubungannya uban dan jurnalistik?

Begini, dimulai sejak 2012 semasa jadi wartawan magang. Dari situ, saya mulai mengenal posisi-posisi kerja sebuah dapur redaksi. Nah, di dapur redaksi ada namanya, wartawan atau reporter, redaktur hingga pemimpin redaksi. Ada satu posisi unik yang waktu itu menarik buat saya. Jadi redaktur.

Seorang redaktur yang saya lihat sewaktu itu, kerjanya begitu asik dan ada kerennya juga. Bisa marah-marahi wartawan. Bahkanoff the recordbisa jewer telingga sampai ketuk jidat wartawan yang rada bego' nulisnya. (hahaha)

Selang beberapa bulan bekerja sebagai wartawan, tentunya sehari-hari harus ketemu sejumlah redaktur. Apalagi saya waktu itu cenderung diberi tugas liputan berbeda-beda. Kadang liputan kriminal, ekonomi, politik, sampai ditugasi bikin tulisan mendayu-dayu guna menguras emosi pembaca (berita feature). Dan setiap pos liputan pasti berbeda redakturnya.

Nah, rutinitas jurnalistik itulah setahun kemudian membawa saya nekad bikin media sendiri. Media cyber, namanya zonabmr.com. Di media itu, saya tak lagi turun liputan. Praktis 99% kegiatan saya cuma mengolah berita yang dikirim wartawan. Dengan kata lain, jadilah saya seorang redaktur di media saya sendiri (hohoho akhirnya kesampaian).

Oke, soal uban, sewaktu masih kerja di surat kabar, saya sedikit heran dengan beberapa redaktur yang cenderung beruban. Dan itu juga saya lihat media tetangga yang sering saya singgahi. Hal itu sedikit menggangu pikiran memang, jangan-jangan lantaran kerja di depan komputer melulu bikin orang jadi beruban. Ah, pikiran itu masih terasa mengada-ada, karena saya masih meyakini, uban datang bersamaan dengan usia manusia yang makin menua.  Meski tak ada riset yang bisa memastikan, namun uban umumnya tumbuh pada manusia di usia 40 tahun ke atas. Jadi memang sedikit mengherankan jika usia 20-30an bisa beruban.

Meski setiap orang beresiko terkena uban lebih cepat, namun dari riset tak terencana saya, posisi redaktur sepertinya jadi salah satu rutinitas percepat miliki uban. Itu terbukti dengan apa yang menimpa saya sendiri. Selang hampir dua tahun jadi redaktur di zonabmr.com, saya malah jadi beruban. Padahal, belum 10 ribuan berita yang saya edit, usai masih muda, dan bukan turunan beruban pula. Kondisi tersebut membuat saya meyakini, kalau kerja melulu ngedit berita, nggak turun liputan lagi, dijamin bakal beruban. Tak peduli usia lho, uban pasti bermunculan helai perhelai.

Hingga saat ini, penyebab timbulnya uban secara prematur belum tuntas diselidiki secara medis. Parahnya lagi, meski helai rambut uban itu dicabut, dari akar rambut yang sama tetap akan menghasilkan rambut beruban lagi. Sebab, dari keterangan ahli dermatologi (wuih bahasa keren), uban tumbuh folikel demi folikel (Fotikel itu apa ya? Hmm anggaplah akar). Bila mencabut sehelai uban, rambut tersebut akan digantikan dengan uban baru dari folikel yang sama.

Jadi kesimpulannya, jika ingin rambut tak cepat beruban, saran saya jangan jadi redaktur. Mending jadi reporter atau pemipin redaksi sekalian (hahaha). Kalaupun sudah waktunya ditugaskan sebagai redaktur, jangan lupa tetap liputan ke lapangan. Jangan isi hari hanya tidur-bangun-ngedit-begadang-tidur-bangun-mengedit-begadang-tidur. Saran itu untuk saya sendiri yang masih aktif sebagai redaktur. Redaktur seorang diri untuk sejumlah berita yang datang tanpa mengenal waktu-tempat dan memaksa saya harus standby (baca lebay) depan laptop. Hehehe.(*)

Artikel Terkait

Previous
Next Post »