Nah, biasanya tanda-tanda teman kita mulai sadar namanya
kita lupa, itu terlihat saat senyum lebarnya atau tarikan kulit wajah-cerianya
mulai tak sempurna. Dalam kondisi seperti itu, rasanya benar-benar tak nyaman. Mungkin
berbeda dengan orang lain, tapi saya kalau dalam kondisi itu, perasaanya
seperti jadi rajanya orang sombong sedang menghina teman tak berdosa dengan setega-teganya. Yah, kurang lebih begitu gambarannya..
Mengingat umur makin bertambah, so pasti berbanding dengan tingkat kepikunan yang makin kronis,
maka langkah yang bisa saya lakukan adalah menulis. Ya, menulis. Menulis menurut
saya bukan sekadar mengolah kata, nyeni-nyeni,
silat-silat kalimat, atau apalah. Bagi saya, menulis adalah cara atau langkah
terbaik mengobati pikun yang saya derita. Karena motivasinya itu, makanya intensitas
menulis saya di blog ini belakangan makin sering (tiga bulan sekali hehehe).
Sekali lagi, bagi saya, menulis layaknya langkah penyelamatan
gerbong kisah di kepala sebelum ia menghilang bersama uban yang ditebang paksa. Si
tukang tebang itu istri saya. Dia gadis beranak satu yang heran dengan
kenyataan bahwa mantan pacarnya ini mulai beruban (Hihihi).
Bicara soal uban, ada suatu kondisi yang membuat saya meyakini
sesuatu. Sesuatu itu menguat keyakinan setelah rentetan riset tak direncakanan selama
masa-masa bergelut dengan dunia jurnalistik. Nah, keyakinan apa itu? Apa hubungannya
uban dan jurnalistik?
Begini, dimulai sejak 2012 semasa jadi wartawan magang. Dari situ, saya
mulai mengenal posisi-posisi kerja sebuah dapur redaksi. Nah, di dapur redaksi
ada namanya, wartawan atau reporter, redaktur hingga pemimpin redaksi. Ada satu posisi unik
yang waktu itu menarik buat saya. Jadi redaktur.
Seorang redaktur yang saya lihat sewaktu itu, kerjanya begitu
asik dan ada kerennya juga. Bisa marah-marahi wartawan. Bahkan—off the record—bisa jewer telingga sampai ketuk
jidat wartawan yang rada bego' nulisnya. (hahaha)
Selang beberapa bulan bekerja sebagai wartawan, tentunya
sehari-hari harus ketemu sejumlah redaktur. Apalagi saya waktu itu cenderung
diberi tugas liputan berbeda-beda. Kadang liputan kriminal, ekonomi, politik,
sampai ditugasi bikin tulisan mendayu-dayu guna menguras emosi pembaca (berita feature). Dan setiap pos liputan pasti
berbeda redakturnya.
Nah, rutinitas jurnalistik itulah setahun kemudian membawa
saya nekad bikin media sendiri. Media cyber, namanya zonabmr.com. Di media itu, saya tak lagi turun liputan. Praktis
99% kegiatan saya cuma mengolah berita yang dikirim wartawan. Dengan kata lain,
jadilah saya seorang redaktur di media saya sendiri (hohoho akhirnya kesampaian).
Oke, soal uban, sewaktu masih kerja di surat kabar, saya
sedikit heran dengan beberapa redaktur yang cenderung beruban. Dan itu juga
saya lihat media tetangga yang sering saya singgahi. Hal itu sedikit menggangu
pikiran memang, jangan-jangan lantaran kerja di depan komputer melulu bikin
orang jadi beruban. Ah, pikiran itu masih terasa mengada-ada, karena saya masih
meyakini, uban datang bersamaan dengan usia manusia yang makin menua. Meski tak ada riset yang bisa memastikan, namun
uban umumnya tumbuh pada manusia di usia 40 tahun ke atas. Jadi memang sedikit mengherankan
jika usia 20-30an bisa beruban.
Meski setiap orang beresiko terkena uban lebih cepat,
namun dari riset tak terencana saya, posisi redaktur sepertinya jadi salah satu rutinitas percepat miliki uban. Itu terbukti dengan apa yang menimpa saya
sendiri. Selang hampir dua tahun jadi redaktur di zonabmr.com, saya malah jadi beruban. Padahal, belum 10 ribuan
berita yang saya edit, usai masih muda, dan bukan turunan beruban pula. Kondisi
tersebut membuat saya meyakini, kalau kerja melulu ngedit berita, nggak turun
liputan lagi, dijamin bakal beruban. Tak peduli usia lho, uban pasti bermunculan helai perhelai.
Hingga saat ini, penyebab timbulnya uban secara prematur
belum tuntas diselidiki secara medis. Parahnya lagi, meski helai rambut uban
itu dicabut, dari akar rambut yang sama tetap akan menghasilkan rambut beruban lagi.
Sebab, dari keterangan ahli dermatologi (wuih bahasa keren), uban tumbuh
folikel demi folikel (Fotikel itu apa ya? Hmm anggaplah akar). Bila mencabut
sehelai uban, rambut tersebut akan digantikan dengan uban baru dari folikel
yang sama.
Jadi kesimpulannya, jika ingin rambut tak cepat beruban, saran saya jangan jadi redaktur. Mending jadi reporter atau pemipin redaksi sekalian (hahaha). Kalaupun sudah waktunya ditugaskan sebagai redaktur, jangan lupa tetap liputan ke lapangan. Jangan isi hari hanya tidur-bangun-ngedit-begadang-tidur-bangun-mengedit-begadang-tidur. Saran itu untuk saya sendiri yang masih aktif sebagai redaktur. Redaktur seorang diri untuk sejumlah berita yang datang tanpa mengenal waktu-tempat dan memaksa saya harus standby (baca lebay) depan laptop. Hehehe.(*)
Jadi kesimpulannya, jika ingin rambut tak cepat beruban, saran saya jangan jadi redaktur. Mending jadi reporter atau pemipin redaksi sekalian (hahaha). Kalaupun sudah waktunya ditugaskan sebagai redaktur, jangan lupa tetap liputan ke lapangan. Jangan isi hari hanya tidur-bangun-ngedit-begadang-tidur-bangun-mengedit-begadang-tidur. Saran itu untuk saya sendiri yang masih aktif sebagai redaktur. Redaktur seorang diri untuk sejumlah berita yang datang tanpa mengenal waktu-tempat dan memaksa saya harus standby (baca lebay) depan laptop. Hehehe.(*)