Bokap 1993 |
Berbeda dengan beberapa anak-anak lain yang mengidolakan
sosok artis atau superhero di film-film, saya asli memang anak pengagum ayah
saya. Tidak heran memang beberapa kata-katanya mempergaruhi saya, wajah saja
mirip (hehehe).
Namun soal karakter dan kepribadian, saya dan ayah agak jauh
berbeda. Ayah hidup di lingkungan keras semasa kecil. Ia lahir di Medan, namun sejak kanak-kanak sudah dibesarkan seorang
ayah tiri di Ibukota Jakarta. Dibesarkan ayah tiri zaman itu terdengar sadis. Ayah
menjalani masa kecil penuh disiplin, setiap pagi harus ngepel lantai dan
kegiatan-kegiatan yang saya tak pernah alami. Parahnya, ayah banyak terlibat aksi-aksi
kriminal. Tak heran semasa sekolah ia sudah dipenjara. Alhasil pendidikannya
hanya sampai SMP saja.
Ayah jarang bercerita soal kisah-kisah masa kecilnya. Tapi
kalau ditanya, sesekali waktu ia ceritakan, itu pun singkat-singkat. Terkadang, mendengar ceritanya
saya anggap tak masuk akal dan terkesan dilebih-lebihkan. Apalagi kisah yang
diceritakannya semasa ia masih di Jakarta, sementara saya hidupnya di desa
(Tepatnya di Sulawesi Utara, Kota Kotamobagu, Kecamatan Kotamobagu Selatan,
Desa Tabang, Dusun IV, Perumnas No 7B, masuk lorong, paling unjung), jadi
memang tidak singkron untuk otak kampung saya. Apalagi kisah-kisah itu lebih banyak
saya dengar semasa saya SD-SMP juga.
Bokap @Pantai Carita, banten 1977 |
Cerita-cerita ayah baru mulai terasa masuk akal ketika saya
sendiri sesekali berlibur ke Jakarta. Sering ketemu om-om yang merupakan
teman Ayah semasa remaja. Nah, dari mereka saya banyak dengar cerita
tentang ayah, mulai dari ngerampok, mukul wajah orang pakai setrika panas,
sampai pernah digantung ayah tirinya dan dicambuk lantaran melukai anak
tetangga. Lebih ngerinya lagi, semasa remaja Ayah juga anak geng motor dan sering
bawa senjata api. Kata Ayah, pistol dibawa buat jaga-jaga, apalagi saat ambil barang titipan orang
dari Jogja ke Jakarta.
Ah, nakal-nakalnya remaja zaman ayah memang gila. Belakangan saya tahu ayah tak banyak
cerita masa kecilnya, biar tak pengaruhi anak-anaknya. Dirinya pun tak ingin anak-anaknya mendapat perlakuan sama seperti yang ia alami semasa kecil. Tak heran
saya dimanja dan jadilah letoy bin cengeng (hihihihi).
Ayah tinggal
dan besar di rumah ayah tirinya di Dukuh Atas, Jl Jend Sudirman, Tomang Raya. Ia punya 4 orang adik tiri, jadi saya punya sepupu yang banyak di sana. Salah satunya Dwi, ada juga Ipras. Sepupu-sepupu ini waktu kecil sering main dengan saya, karena umur kami sepantaran kalau tdk salah. Saya sendiri bisa main ke Jakarta karena Ayah
dulu hampir tiap tahun pulang kampung.
Sejak usia remaja, Ayah sudah mengembara sampai ke Sulawesi
Utara. Sempat di Kota Manado, ke Sanger, kemudian hijrah lagi ke Gorontalo. Ia pernah
cerita pertama datang ke Manado, waktu naik angkot ia bingung mau
turun di mana, nanti sopirnya nanya-nanya, baru ia turun. Saya tak pernah tahu
ceritannya sampai Ayah tiba di Kotamobagu, yang pasti ia ketemu Ibu saya di kota yang punya monumen Patung Bogani itu.
Saya (kiri) dan Kakak @Desa Kopandakan |
Setelah menikah, keduanya
tinggal kos-kosan dan pindah-pindah. Begitu juga waktu mulai kontrak rumah,
sering pindah-pindah seantero Kotamobagu. Pernah di Kelurahan Togop, Gogagoman,
Sampana, hingga agak lama di Desa Kopandakan. Dan sekira tahun 1985 bisa kredit
rumah di Perumnas Desa Tabang.
Sampai sekarang saya masih bingung, tak pernah tanya sih, bagaimana ayah bisa sampai ke Kotamobagu. Tapi saya perkirakan waktu itu ia tengah cari jejak ayah kandungnya. Yah kakek saya, bertepatan waktu itu beliau dinas di Kotamobagu sebagai Kepala Dinas Perhubungan BMR. Kakek saya itu seorang tentara, jadi pindah-pindah tugas. Yah entah ceritanya bagaimana seorang tentara jadi kepala dinas, yang pasti foto kakek saya itu masih terpampang di kantor Dishub.
@Dishub BMR: Kakek paling kanan foto, tenteng jaket, Thn 70an |
Almarhum kakek saya ini wafat dan dimakamkan di Kota Kendari. Pemakamannya pakai upacara militer, karena punya tanda jasa G.O.M (Gerakan Operasi Militer) I, II, III dan IV, ikut pembebasan Irian Barat (Trikora) dan pernah jadi Komandan Batalyon IV pemberantasan DI/TII di Sumut. Nah, dari tangan kakek saya inilah Ayah dan Ibu saya diangkat jadi pegawai honorer di DLLAJR Bolmong. Bahkan sebelum dia pindah tugas, masih sempat ngurus Ayah dan Ibu saya untuk terangkat jadi PNS.
Bokap 1980: Survey Jl Trans Sulawesi (KK-GTLO) 345 KM, ditempuh 11 hari |
Bokap (kanan) Tugas di Jembatan Timbang Inbonto 1985 |
Kamis se Keluarga with Nenek dr JKT @Tabang 1987 |
Setiba di kampung kami langsung menuju rumahnya Oling.
Dia langsung ditangani ibunya yang kebetulan bisa melakukan penanganan medis.
Beruntung tak ada masalah berat di kepalanya, hanya luka di kaki bagian pahannya yang
agak merepotkan. Saya sendiri langsung ke rumah dan lapor ke Ayah kalau
alami kecelakaan. Tak banyak omong, Ayah langsung suruh temannya ambil motor yang
masih di TKP.
Singkatnya, motor itu diperbaiki dan beberapa bulan kemudian
dijual ayah. Masih tersisa satu rangka motor di rumah. Kata Ayah, masih bisa
dirakit jadi motor lagi, tapi dia tak punya waktu, dan ada satu bagian alat
yang sudah susah dicari. Rangka motor ke empat itu beserta beberapa bagian mesinnya, seingat saya dibuang ayah di
tempat pembuangan sampah di Desa Passi.
Oh iya, ayah tak cuma jago bongkar pasang motor dan mobil,
kebut-kebutan juga ahlinya. Itu sudah saya rasakan sejak kecil, rata-tara teman
di kampung kenal betul bagaimana ayah dengan urusan kebut-kebutan. Saya sendiri
tiap kali ikut Ayah khususnya perjalanan jauh seperti ke Gorontalo atau ke
Manado, pasti balap-balapan. Memang terlihat Ayah kategori Ortu yang belum
dewasa (hahaha).
Bokap: awal Abdi Negara 1979 - Masa Purna Bakti 2012 |
Oh iya, meski pendidikannya terbilang pas-pasan, tapi waktu dapat tugas belajar dari dinas ikut pendidikan Pengujian Kendaraan Bermotor (PKB), Ayah sempat jadi juara se Indonesia. Yah, waktu dia ikut pendidikan di Tegal (1991-1993), bahkan saat pendidikan ia jadi Danton pertama Korps Taruna DII PKB itu. Saat diwisuda, Ayah dapat piagam dan medalinya yang diserahkan langsung Menteri Perhubungan, Prof. Dr. Haryanto Dhanutirto DEA, Apt. (panjang gelarnya).
Bokap di wisuda @Curug 1993 |
Rumah kami di Desa Tabang beberapa tahun terakhir tak
berpenghuni. Sejak saya menikah, sudah tak tinggal di sana. Begitu juga kakak
perempuan dan dua adik laki-laki saya. Baru kemarin rumah tersebut satu kamarnya saya sewakan,
sekalian biar ada yang jaga-jaga.
Bokap |
Meski jarang, namun dua-tiga tahun sekali Ayah mampir ke Kotamobagu. Kata Ayah, meski sudah pensiun ia masih aktif di salah satu organisasi, apa namanya, yang pasti berhubungan dengan keahliannya di bidang transportasi-perhubungan darat. Ayah sekarang masih tinggal di Gorontalo bersama istri yang bukan Ibu saya.(*)