Bukan Superhero, Hanya Ayah

08.51.00

Bokap 1993
“Bersenang-senanglah dengan apa yang ada hari ini. Besok, nanti dicari,” begitu kata yang pernah terucap dari mulut ayah saya. Kata-kata itu lama mempengaruhi hidup saya. Aneh memang, tapi itulah salah satu prinsip hidup yang belakangan mulai menghilang dari diri saya. Meski tak bisa dipungkiri, kata-kata itu hingga kini sesekali masih berlaku di tiap keputusan hidup yang saya jalani, artinya tak peduli hari esok.

Berbeda dengan beberapa anak-anak lain yang mengidolakan sosok artis atau superhero di film-film, saya asli memang anak pengagum ayah saya. Tidak heran memang beberapa kata-katanya mempergaruhi saya, wajah saja mirip (hehehe).

Namun soal karakter dan kepribadian, saya dan ayah agak jauh berbeda. Ayah hidup di lingkungan keras semasa kecil. Ia lahir di Medan, namun sejak kanak-kanak sudah dibesarkan seorang ayah tiri di Ibukota Jakarta. Dibesarkan ayah tiri zaman itu terdengar sadis. Ayah menjalani masa kecil penuh disiplin, setiap pagi harus ngepel lantai dan kegiatan-kegiatan yang saya tak pernah alami. Parahnya, ayah banyak terlibat aksi-aksi kriminal. Tak heran semasa sekolah ia sudah dipenjara. Alhasil pendidikannya hanya sampai SMP saja.

Ayah jarang bercerita soal kisah-kisah masa kecilnya. Tapi kalau ditanya, sesekali waktu ia ceritakan, itu pun singkat-singkat. Terkadang, mendengar ceritanya saya anggap tak masuk akal dan terkesan dilebih-lebihkan. Apalagi kisah yang diceritakannya semasa ia masih di Jakarta, sementara saya hidupnya di desa (Tepatnya di Sulawesi Utara, Kota Kotamobagu, Kecamatan Kotamobagu Selatan, Desa Tabang, Dusun IV, Perumnas No 7B, masuk lorong, paling unjung), jadi memang tidak singkron untuk otak kampung saya. Apalagi kisah-kisah itu lebih banyak saya dengar semasa saya SD-SMP juga. 

Bokap @Pantai Carita, banten 1977
Cerita-cerita ayah baru mulai terasa masuk akal ketika saya sendiri sesekali berlibur ke Jakarta. Sering ketemu om-om yang merupakan teman Ayah semasa remaja. Nah, dari mereka saya banyak dengar cerita tentang ayah, mulai dari ngerampok, mukul wajah orang pakai setrika panas, sampai pernah digantung ayah tirinya dan dicambuk lantaran melukai anak tetangga. Lebih ngerinya lagi, semasa remaja Ayah juga anak geng motor dan sering bawa senjata api. Kata Ayah, pistol dibawa buat jaga-jaga, apalagi saat ambil barang titipan orang dari Jogja ke Jakarta.

Ah, nakal-nakalnya remaja zaman ayah memang gila. Belakangan saya tahu ayah tak banyak cerita masa kecilnya, biar tak pengaruhi anak-anaknya. Dirinya pun tak ingin anak-anaknya mendapat perlakuan sama seperti yang ia alami semasa kecil. Tak heran saya dimanja dan jadilah letoy bin cengeng (hihihihi).  

Ayah tinggal dan besar di rumah ayah tirinya di Dukuh Atas, Jl Jend Sudirman, Tomang Raya. Ia punya 4 orang adik tiri, jadi saya punya sepupu yang banyak di sana. Salah satunya Dwi, ada juga Ipras. Sepupu-sepupu ini waktu kecil sering main dengan saya, karena umur kami sepantaran kalau tdk salah. Saya sendiri bisa main ke Jakarta karena Ayah dulu hampir tiap tahun pulang kampung.

Sejak usia remaja, Ayah sudah mengembara sampai ke Sulawesi Utara. Sempat di Kota Manado, ke Sanger, kemudian hijrah lagi ke Gorontalo. Ia pernah cerita pertama datang ke Manado, waktu naik angkot ia bingung mau turun di mana, nanti sopirnya nanya-nanya, baru ia turun. Saya tak pernah tahu ceritannya sampai Ayah tiba di Kotamobagu, yang pasti ia ketemu Ibu saya di kota yang punya monumen Patung Bogani itu.

Saya (kiri) dan Kakak @Desa Kopandakan
Ayah dan Ibu saya menikah sekira tahun 1980, proses nikahnya cara koboi kata Ibu. Maklum Ibu saya asli suku Minahasa, agamanya Kristen, sudah begitu numpang di rumah keluarga juga di Kotamobagu. So, pasti tak direstui orang tua dan keluarganya nikah sama Ayah yang Muslim. Kata ibu, proses nikah cuma modal teman yang jadi wali, terus ke penghulu dan selesai, resmi punya buku nikah. Sayang karena nikah sistem koboi, jadi gak ada dokumnetasi fotonya sama sekali.

Setelah menikah, keduanya tinggal kos-kosan dan pindah-pindah. Begitu juga waktu mulai kontrak rumah, sering pindah-pindah seantero Kotamobagu. Pernah di Kelurahan Togop, Gogagoman, Sampana, hingga agak lama di Desa Kopandakan. Dan sekira tahun 1985 bisa kredit rumah di Perumnas Desa Tabang.

Kami mulai tinggal di Desa Tabang saat saya sekira umur 3 tahun. Saya punya kakak perempuan, tapi waktu pindah ke Tabang, dia tidak ikut karena sejak kecil dia dititip ke orang tua ibu saya alias Oma dan Opa (Kakek dan Nenek bahasa Manado) di Desa Laikit, Kecamatan Dimembe, Minahasa Utara. Kondisi itu membuat tetangga dan warga setempat mengira saya anak pertama. Tak heran orang-orang di kampung panggil orang tua saya dengan sebutan "Papa Edward" dan "Mama Edward". (Edward nama panggilan saya. Dan sudah budaya di kampung untuk menyapa orang tua diikuti nama anak pertamanya).

Sampai sekarang saya masih bingung, tak pernah tanya sih, bagaimana ayah bisa sampai ke Kotamobagu. Tapi saya perkirakan waktu itu ia tengah cari jejak ayah kandungnya. Yah kakek saya, bertepatan waktu itu beliau dinas di Kotamobagu sebagai Kepala Dinas Perhubungan BMR. Kakek saya itu seorang tentara, jadi pindah-pindah tugas. Yah entah ceritanya bagaimana seorang tentara jadi kepala dinas, yang pasti foto kakek saya itu masih terpampang di kantor Dishub.
@Dishub BMR: Kakek paling kanan foto, tenteng jaket, Thn 70an

Saya cuma punya sedikit informasi tentang kakek saya itu, soalnya ketemu saja tak pernah. Namanya Idham Noerdin (Noerdin itu nama kakek yang dijadikan marga saya). Asal Padang-Sumatera, mantan TNI terus dikaryakan ke DLLAJR. Pernah jadi Kepala DLLAJR Keresidenan Besuki Wilayah Bondowoso, Pasuruan dan Situbondo. Jadi Kepala Dinas LLAJ Minahasa, Kadis LLAJ Gorontalo, kemudian Bolaang Mongondow. Terakhir Kakek jadi Kuasa Kanwil XIII Sulawesi Tenggara di Kendari.

Almarhum kakek saya ini wafat dan dimakamkan di Kota Kendari. Pemakamannya pakai upacara militer, karena punya tanda jasa G.O.M (Gerakan Operasi Militer) I, II, III dan IV, ikut pembebasan Irian Barat (Trikora) dan pernah jadi Komandan Batalyon IV pemberantasan DI/TII di Sumut. Nah, dari tangan kakek saya inilah Ayah dan Ibu saya diangkat jadi pegawai honorer di DLLAJR Bolmong. Bahkan sebelum dia pindah tugas, masih sempat ngurus Ayah dan Ibu saya untuk terangkat jadi PNS.

Kembali ke cerita Ayah saya. entah bakatnya datang dari mana, tapi Ayah terbilang sangat kreatif. Dia bisa bikin-bikin banyak hal, mulai dari bikin meja, kursi, lemari, sampai menjahit, perbaiki alat elektronik seperti TV, Tape, Kulkas, dan sebagainya. Bahkan pernah satu ketika, waktu itu saya kelas 4 SD, ayah bawa barang rongsokan onderdil sepeda motor yang dimuat penuh di bak mobil pick-up. Yang masih jelas terlihat ada 4 rangka sepeda motor di situ. Lucunya, dari ratusan benda-benda kecil itu, dirakit jadilah satu sepeda motor. Saya lupa jenis motornya, tapi mereknya Suzuki. Motornya terbilang unik waktu itu, lantaran punya dua karburator, dua kenalpot dan larinya kencang.
Bokap 1980: Survey Jl Trans Sulawesi (KK-GTLO) 345 KM, ditempuh 11 hari
Motor-motor itu dibuat satu per satu oleh ayah sendirian. Mulai dari beli bola, kabel-kabel, sampai tempat duduknya. Belum lagi cari benda-benda kecil untuk mesin, beberapa bagian terbilang langka sampai harus dicari ke Manado. Setelah beberapa waktu pengerjaan, akhirnya motor hidup. Tak lama dipakai lalu dijual. Begitu seterusnya, sampai motor yang ke tiga dibikin mirip motor moge. Tangki bensinnya besar, sesekali dipasangin boks di kiri dan kanan mirip kendaraan polisi. Motor itu lama dipakai Ayah, bahkan saya sendiri bisa belajar mengendarai sepeda motor dari motor itu.
Bokap (kanan) Tugas di Jembatan Timbang Inbonto 1985
Hingga suatu waktu saya masih kelas 1 SMA terlibat adu balap dengan teman. Saya membonceng teman namanya Jhonly alias Oling. Sementara rekan saya namanya Dono di mobil kijang bersama teman-teman SMA saya yang lain. Kami baru saja pulang dari liat kegiatan pramuka di Desa Bakan. Dalam perjalanan pulang itu, saya ikutin mobilnya Dono dari belakang, lama-kelamaan kami  mulai kebut-kebutan. Saya kejar sampai bisa lewati mobilnya (hehehe). Eh cuma sialnya, di salah satu tikungan, saya lepas kendali dan motor terperosok meluncur di bibir jalan. Oling yang saya bonceng, terbang sampai kepalanya terbentur dahan pohon kelapa. Saya sendiri meluncur sekira 20 meter di atas aspal.

Kamis se Keluarga with Nenek dr JKT @Tabang 1987
Peristiwa kecelakaan itu persis diliat teman-teman dalam mobil yang berada tak jauh di belakang kami. Beruntung mobil teman itu agak jauh di belakang jadi tak sampai nabrak juga. Saya sendiri tak ada luka serius, cuma helm yang saya pakai hancur lebur, telinga saya keluar darah dikit (hehehe). Tapi yang bikin saya takut, bukan motor ayah yang bengkok-bengkok, tapi kondisi Oling, teman yang saya bonceng tadi. Dia waktu diangkut ke mobil agak menggigau. Kondisi bagian jidat kepalanya jadi lembek, terus dia sering ngomong kalau matanya gelap, tak bisa liat apa-apa.

Setiba di kampung kami langsung menuju rumahnya Oling. Dia langsung ditangani ibunya yang kebetulan bisa melakukan penanganan medis. Beruntung tak ada masalah berat di kepalanya, hanya luka di kaki bagian pahannya yang agak merepotkan. Saya sendiri langsung ke rumah dan lapor ke Ayah kalau alami kecelakaan. Tak banyak omong, Ayah langsung suruh temannya ambil motor yang masih di TKP.

Singkatnya, motor itu diperbaiki dan beberapa bulan kemudian dijual ayah. Masih tersisa satu rangka motor di rumah. Kata Ayah, masih bisa dirakit jadi motor lagi, tapi dia tak punya waktu, dan ada satu bagian alat yang sudah susah dicari. Rangka motor ke empat itu beserta beberapa bagian mesinnya, seingat saya dibuang ayah di tempat pembuangan sampah di Desa Passi.

Oh iya, ayah tak cuma jago bongkar pasang motor dan mobil, kebut-kebutan juga ahlinya. Itu sudah saya rasakan sejak kecil, rata-tara teman di kampung kenal betul bagaimana ayah dengan urusan kebut-kebutan. Saya sendiri tiap kali ikut Ayah khususnya perjalanan jauh seperti ke Gorontalo atau ke Manado, pasti balap-balapan. Memang terlihat Ayah kategori Ortu yang belum dewasa (hahaha). 

Bokap: awal Abdi Negara 1979 - Masa Purna Bakti 2012
Tak hanya kreatif bikin ini-itu, Ayah juga terbilang pintar meski sekolahnya terbatas cuma sampai SMP. Kalau SMA-nya pernah saya liat lulus tahun 80an. Hmmm jadi tanda tanya, saya sama kakak sudah lahir tahun segitu, Ayah juga sudah kerja, masak di tahun itu Ayah masuk SMA lagi? Mungkin kalau bukan SMA Paket yah sistim tembak ijazah. (hehehe mudah-mudahan salah, belum dicek lagi). 

Oh iya, meski pendidikannya terbilang pas-pasan, tapi waktu dapat tugas belajar dari dinas ikut pendidikan Pengujian Kendaraan Bermotor (PKB), Ayah sempat jadi juara se Indonesia. Yah, waktu dia ikut pendidikan di Tegal (1991-1993), bahkan saat pendidikan ia jadi Danton pertama Korps Taruna DII PKB itu. Saat diwisuda, Ayah dapat piagam dan medalinya yang diserahkan langsung Menteri Perhubungan, Prof. Dr. Haryanto Dhanutirto DEA, Apt. (panjang gelarnya).

Bokap di wisuda @Curug 1993
Saat ini saya jarang ketemu ayah, dan itu sudah sejak tahun 90-an saat ia pindah tugas di Gorontalo (waktu itu masih masuk provinsi Sulut). Ayah sudah pensiun sejak Tahun 2012, pensiunnya bersamaan dengan ibu, beda sebulan saja. Kalau Ibu saya sekarang lagi menikmati masa tuanya di Desa Laikit, Minahsa Utara, kampung halamannya. Saya sesekali berkunjung ke sana. Tak jarang juga ibu datang mampir menemui saya di Kotamobagu walau hanya sehari-dua langsung balik lagi ke Laikit.

Rumah kami di Desa Tabang beberapa tahun terakhir tak berpenghuni. Sejak saya menikah, sudah tak tinggal di sana. Begitu juga kakak perempuan dan dua adik laki-laki saya. Baru kemarin rumah tersebut satu kamarnya saya sewakan, sekalian biar ada yang jaga-jaga.

Bokap @2015
Oh iya, Ayah juga sekali-dua masih kontak saya walau hanya lewat SMS. Biasanya sekadar kasih info kabar adik bungsu yang masih SMA dan ngekos di Gorontalo, atau kalau Ayah lagi butuh bantuan urusan sesuatu di Kotamobagu biasanya dia kontak saya.

Meski jarang, namun dua-tiga tahun sekali Ayah mampir ke Kotamobagu. Kata Ayah, meski sudah pensiun ia masih aktif di salah satu organisasi, apa namanya, yang pasti berhubungan dengan keahliannya di bidang transportasi-perhubungan darat. Ayah sekarang masih tinggal di Gorontalo bersama istri yang bukan Ibu saya.(*)

Artikel Terkait

Previous
Next Post »