Hujan begitu senonoh menguyur daratan kota senja itu. Percik
air semakin ditatap makin merobek dada, sementara raga ikut-ikutan lemas
memikirkan cara bagaimana ikan mati bisa melawan arus. Hanya tawa dalam tangis menyumpahi, tak
ada jalan menuju Roma.
Hembusan angin pun seketika memutar ulang buih-buih kisah
lalu, tanpa alur. Suara-suara perih melumuti kulit, nyanyian tetes hujan
mengiring melengking lirih. Adam hanya tersudut diam, dingin, tatapnya kosong menembus
batas materi bumi. Waktu-waktu terasa lebih deras bergulir.
Seketika, menuntut sedikit cahaya memompa dadanya, merangsang tangan harus
mengepal, mulutnya mengeram, wajahnya menantang langit. Namun, hentakan hujan merasuki, membuat perih makin
menganga, keangkuhan Adam memuncak dan makin deras. Ia memaki langit.
Adam lelah, sakit, raganya tertatih kembali menyetuh bumi. Perintah-perintah
zat tanpa warna agama perlahan mulai menancap di kepala. Adam bingung dalam sujud. Sore
itu, hanya ada kata terburuk dalam kamus mayat bernafas.
Seandainya.