Seandainya

22.24.00

Hujan begitu senonoh menguyur daratan kota senja itu. Percik air semakin ditatap makin merobek dada, sementara raga ikut-ikutan lemas memikirkan cara bagaimana ikan mati bisa melawan arus. Hanya tawa dalam tangis menyumpahi, tak ada jalan menuju Roma.

Hembusan angin pun seketika memutar ulang buih-buih kisah lalu, tanpa alur. Suara-suara perih melumuti kulit, nyanyian tetes hujan mengiring melengking lirih. Adam hanya tersudut diam, dingin, tatapnya kosong menembus batas materi bumi. Waktu-waktu terasa lebih deras bergulir.

Seketika, menuntut sedikit cahaya memompa dadanya, merangsang tangan harus mengepal, mulutnya mengeram, wajahnya menantang langit. Namun, hentakan hujan merasuki, membuat perih makin menganga, keangkuhan Adam memuncak dan makin deras. Ia memaki langit.

Adam lelah, sakit, raganya tertatih kembali menyetuh bumi. Perintah-perintah zat tanpa warna agama perlahan mulai menancap di kepala. Adam bingung dalam sujud. Sore itu, hanya ada kata terburuk dalam kamus mayat bernafas. Seandainya.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »