Saya sendiri awalnya tidak terpikirkan bakal mengerjakan sebagian proses
pembuatan bangunan kafe. Itu terjadi lantaran Si Om tukang bangunan yang saya
sewa, di tengah proses pengerjaan, eh keburu kabur setelah gajinya saya bayar penuh. Sial!
Tentunya ditinggal pergi Sang Om sama sekali tak melunturkan gairah entrepreneur saya.
Melihat kondisi bangunan kafe baru sebatas tiang dan atap, saya rekrutlah seorang
teman namanya Hajim. Beruntungnya, teman saya ini asli kreatif bin ajaib,
apalagi ihklas bekerja tanpa digaji (hehehe). Semua urusan tukang-tukangan bisa
dia garap. Kalau saya ilmu pertukangan modal dari Mbah Google saja, selebihnya
dibantu Bro Hajim itu.
Mulai dari desain kursi, dinding kafe, bikin tempat lesehan
dan interior-interior lainnya, kami tuntaskan sebelum lebaran. Kerja fisik ala kuli bangunan, mulai dari angkat-angkat balok kayu, menggergaji
potongan kayu, memalu, dan itu dikerjakan di tengah puasa Ramadan! Kebayang bagaimana
rasanya?
Ini penampakan saya waktu bikin kafe, tampak berotot kan?
Kafenya saya desain dengan konsep “Desa Dalam Kota”.
Bangunannya didominasi bambu, beratap katu
(anyaman daun) biar berasa seperti gubuk di kebun. Untuk meja-kursi saya pakai kayu kelapa. Asli, butuh teknik
pertukangan tingkat tinggi jika berurusan dengan kayu dari batang pohon kelapa.
Soalnya, jenis kayu kelapa bisa rusak kalau sampai salah arah saat memotong. Belum
lagi jika salah dipegang kayunya, bisa-bisa tangan terluka. Yah, tidak sedikit
bekas luka di telapak tangan waktu ngerjain
meja-kursi kafe.
Satu lagi, urusan pertukangan, tak lepas dari
peralatan yang sedikitnya harus mumpuni. Kalau kerja dengan alat manual, fisik
saya tak sekuat kuli bangunan asli. Alhasil, modal bisnis membengkak melebihi
estimasi awal. Selain membeli bahan bangunan, saya terpaksa beli peralatan
seperti mesin amplas, mesin pemotong kayu, mesin sekap dan mesin-mesin lainnya
untuk membantu pengerjaan.
Awal Oktober 2012, kafe resmi dibuka. Saya namai Mimosa Café.
Lapak dibuka saat itu masih soft opening,
soalnya beberapa urusan belum dikerjakan tuntas. Untuk bagian dapur, dikendalikan mantan pacar saya namanya Ipop—panggilan sayang buat istri saya—.
Beberapa kali, saya dan Ipop harus bolak-balik Manado-Kotamobagu untuk beli
perlengkapan dapur beserta interior kafenya.
Sejak dibuka, pengunjung lumayan banyak, dan biasanya datang
mulai sore hingga dini hari. Waktu itu sehari bisa dapat dapat pemasukan sampai
Rp 700-an ribu. Paling rendahnya Rp 100 ribu (miris). Berbekal ilmu pemasaran
yang saya geluti 4 tahun belakangan, marketing pun gencar saya lakukan.
Saya adakan wifi gratis buat pengunjung. Kala itu wifi
gratis masuk strategi marketing paling mumpuni, soalnya dari survey, belum ada
satu pun kafe di Kotamobagu yang menyediakan internet gratis. Adanya cuma di
salah satu kafé di Kelurahan Sinindian (Warung Kopi Jarod), tapi itu pun harus
bayar dulu di awal, nanti setelah kunjungan berikut-berikutnya di kasih gratis.
Tak sampai di situ, saya bikin juga perpustakaan mini biar tambah
nilai plus-nya Mimosa Café. Buku-buku koleksi pribadi saya dan istri beserta
kakaknya, di pajang di rak kayu buatan saya juga (hehehe). Lumayan, selang
beberapa minggu sejumlah buku lenyap, hikz, sakitnya tuh di sini (nunjuk selangkangan). Saya juga sebar
kupon diskon sebanyak 200 lembar. Lumayan, yang balik sekitar 10 kupon
(probabilita yang menyedihkan).
Nah, selang sebulan usaha berjalan, saya coba tambah lagi strategi
pemasaran baru. Kebetulan saya dulunya pemusik, saya adakanlah tempat akustikan.
Oh iya, jadi kuli bangunan lagi waktu bikin kajon-nya (drum akustik). Dengan
alat sekadarnya, jadilah akustik musiknya. Oh iya, saya pastikan, Mimosa Café
merupakan warung kopi pertama di wilayah Kotamobagu yang ada wifi gratisnya beserta suguhan
akustik musik.
Di bawah ini salah satu penampakan di awal-awal mulai diadakan suguhan akustik musik. Yang main ini pengunjung sekaligus teman dekat, yang nyanyi alias vokalisnya ini, sekarang jadi Ketua Panitia Pengawas Pemilu (hehehehe) Ibu Monita Mokodompit.
Di bawah ini salah satu penampakan di awal-awal mulai diadakan suguhan akustik musik. Yang main ini pengunjung sekaligus teman dekat, yang nyanyi alias vokalisnya ini, sekarang jadi Ketua Panitia Pengawas Pemilu (hehehehe) Ibu Monita Mokodompit.
Yeah, waktu itu
suguhan akustik musik lumayan direspon banyak pengunjung, terlebih rekan-rekan sesama musisi di kampung.
Pekan pertama disuguhan akustik musik, tepatnya di malam minggu, pengunjung
bahkan sampai ke halaman parkir. Mereka tidak kebagian tempat, maklum kursi
yang tersedia hanya 8 biji, selebihnya lesehan, itu pun cuma dua tempat, kecil
pula (hehehe).
Ini juga penampakan hasil rekaman saat main akustik musiknya. Ini satu-satunya akustikan yang sempat direkam. Yang main Mawar (Vokal), Amz (Bass), Uthu (kajon), dan gitarisnya nih yang paling mumpuni, saya sendiri (hehe). Cekidot..
Saat ini kafe sudah hampir setahun tidak di buka lagi.
Kondisi bangunannya penuh debu, tapi peralatan masih lengkap semua. Kalau dibuka
lagi, masih oke dan kinclog. Sayang, Ipop sudah hilang semangatnya, terlebih
urusan di bagian dapur. Maklum hampir dua tahun dia yang jadi chef-nya. Sempat tiga
kali ganti asisten juru masak yang direkrut dari kantin pinggiran kota. Tapi,
tambah personel dapur bukannya meringankan kerja, malah tambah ribet dan bikin
pusing karena kerja sekadarnya alias makan gaji buta.
Satu hal yang juga bikin semangatnya Ipop menurun ngurus kafe, lantaran sekitar bulan kedua sejak kafe dibuka, saya malah tambah kesibukan jadi wartawan
mangang di salah satu surat kabar harian (Ceritanya saya tuliskan nanti di
artikel berikut). Jadi, sejak saya sibuk dengan kegiatan jurnalistik, personel
kafe berkurang satu. Saya baru bisa bantu-bantu di kafe setelah pulang kerja, sekira
jam 12 malam. Bahkan malam perpisahan tahun 2012-2013, saya tugas
liputan sampai pagi. Jadi kafe dijaga Ipop sendiri.
Tak bisa dihindari juga, pengunjung kafe praktis mulai
menurun pasca kami sekeluarga hampir tiap pekan harus ke Manado karena urusan sangat
penting waktu itu. Jadi, kafe jarang dibuka. Tak sedikit pelanggan-tetap yang datang
tapi kafenya ditutup. Kondsi Itu mereka keluhkan langsung saat kita buka lagi
kafenya pekan berikutnya. Kondisi kafe yang jarang dibuka itu terjadi selang 2013 sampai akhir Tahun 2014.
Mimosa Café bisa dikata sudah tamat. Sedih memang, apalagi
mengingat perjuangan-perjuangan awal ketika negara api menyerang, eh? Saya sempat jadi tukang antar pesanan nasi goreng ke kantor saya tiap malam. Paginya ke
pasar, lanjut cabut bulu bebek yang susahnya minta ampun. Mencuci piring,
kupas kulit pisang goroho, serta jaga
pelanggan yang pesan kopi 1 gelas diseruput dari malam habisnya subuh.
Ah begitulah. Jadi entrepreneur memang banyak tantangan, dan
prosesnya tak seindah wajah Laudya Chintya Bella. Tapi ada kebahagiaan tersendiri bisa
melewati masa itu, love you Bella. Loh? Maaf tulisan mulai ngaco, ayam mulai bekokok, besok Natal tiba. Selamat Natal buat rekan-rekan yang merayakan. Good Morning, waktunya tidur.